Penolakan
suku Badui Dalam terhadap metode pengobatan modern kini mulai terkikis.
Berkat kegigihan Bidan Eros Rosita, mereka mengenal jarum suntik dan
bahkan mulai intens berobat.
Kabut merayap
pelan di sebagian punggung Pegunungan Kendeng pada pagi, Tepat pukul
06.15 seorang wanita muda berbaju hitam berjalan pelan menaiki tangga
buatan di sebuah jalan setapak yang melintasi perbatasan kampung suku
Badui Luar di Kampung Kadu Ketug. Dia menuju Desa Ciboleger, sebuah desa
di luar kawasan Badui.
Sambil menutupi sebagian wajahnya, ibu
muda bernama Lis, 20, itu tampak kedinginan. Pagi itu perempuan Badui
tersebut sudah berjanji untuk berobat di tempat praktik Bidan Eros
Rosita di Desa Ciboleger. Dia adalah satu-satunya tenaga medis yang
telah mendapatkan “lisensi” dari para tetua adat suku Badui Luar dan
Badui Dalam untuk mengobati warga Badui secara langsung.
”Dulu
tidak begini. Pasien sangat minim karena takut berobat. Mereka lebih
percaya kepada dukun,’’ ujar Rosita setelah menangani sejumlah pasien.
Pada
jam-jam tertentu sebelum atau setelah bertugas di Puskesmas Ciboleger,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, wanita 38 tahun itu membuka praktik di
kediamannya. Ruang praktik berukuran 3 x 4 meter itu sangat sederhana.
Dindingnya dipenuhi poster cara hidup sehat dan gambar ilustrasi cuci
tangan. Juga ada foto ibu hamil dan janin. Dua buah stetoskop tergantung
di salah satu sudut ruang. Di meja praktik ada beberapa mainan
anak-anak. ‘’Maaf, maklum anak saya masih kecil, jadi suka bikin kacau
di rumah,’’ canda Rosita sambil merapikan tempat praktiknya.
Rosita
mulai membuka lembaran kisah hidupnya. Dia menjelaskan bahwa suku Badui
adalah kelompok masyarakat yang menerapkan hidup bersahaja dan bertahan
bersama tradisi nenek moyang mereka. Sudah ratusan tahun mereka hidup
mengasingkan diri dari modernitas dan hidup selaras dengan keaslian
alam. Jauh dari hingar-bingar modernitas, termasuk di bidang kesehatan
sekalipun. Bahkan, sejak era kemerdekaan, berkali-kali sudah tenaga
medis didatangkan dari ibu kota dan silih berganti pula mereka kembali
dengan tangan kosong karena ditolak warga suku Badui. ‘’Kondisi itu yang
justru memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan
saya di sini,’’ kata wanita berjilbab tersebut.
Dengan misi itu,
ketika menjadi pegawai tidak tetap (PTT) kesehatan, Rosita memilih
ditugaskan ke Desa Kanekes, desa yang menaungi 59 kampung Badui, dalam
dan luar.
Bidan Ros -begitu dia akrab dipanggil- menuturkan, sebelum
dirinya berhasil membuka akses pengobatan di pedalaman, suku Badui
menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses kelahiran.
Kedatangan sejumlah tenaga medis kerap dianggap sebagai pelanggaran
terhadap tradisi leluhur yang membatasi diri dari sentuhan dengan dunia
modern. Namun, kebiasaan itu yang membuat derajat kesehatan suku Badui,
terutama kaum ibu dan anak-anak, stagnan dan cenderung menurun.
Menyadarkan pentingnya kesehatan kepada suku Badui bukan tugas mudah.
‘’Saya mulai bertugas di posyandu pada 1997. Dari rumah, saya harus
menyiapkan imunisasi, bubur kacang. Saya ketuk dari pintu ke pintu di
satu kampung. Demikian yang saya lakukan berulang-ulang,’’ kata ibu dua
anak itu.
Awalnya, Rosita kerap ditolak atau kehadirannya tidak
dihiraukan. Perlakuan seperti itu jelas membuat mental tenaga medis
biasa jatuh. Sebab, mencapai lokasi-lokasi perkampungan Badui
membutuhkan tenaga ekstra. Tenaga medis paling tidak harus berjalan kaki
selama satu hingga enam jam di jalan setapak menembus hutan dan
menyeberangi sungai. Jarak untuk sampai di titik-titik perkampungan
Badui Dalam yang paling jauh mencapai 15-20 kilometer dengan medan
menanjak dan menurun.
‘’Tak terhitung puluhan kali saya tiap
malam harus menangis dan merasa kecewa dengan perlakuan itu. Tapi, di
pagi harinya, setelah salat subuh, saya selalu berdoa dan kembali
menemukan semangat lagi,’’ kenang istri Asep Kurnia itu.
Momen
keberhasilan Bidan Ros terjadi ketika ada wabah prambusia atau penyakit
merah, salah satu penyakit kulit yang menular pada 1999-2000. Ketika
itu, dia memberanikan diri datang ke Badui Dalam dan menawarkan diri
untuk mengobati penyakit itu dengan suntikan penisilin dan obat kulit.
‘’Awalnya mereka menolak karena tubuh mereka harus dimasuki alat modern
yakni jarum suntik,’’ kenangnya. Tapi, karena dalam keadaan terjepit,
setelah mendapat persetujuan pimpinan adat, mereka pun menyediakan satu
orang warga yang terkena prambusia untuk dijadikan “percobaan”.
Penyuntikan
dan pengobatan pun dilakukan di hadapan puluhan pasang mata termasuk
salah satu dukun lokal. Setelah melakukan beberapa kali pengobatan dan
puluhan kilometer berjalan kaki bolak-balik dari pedalaman ke
perkampungan, akhirnya pasien itu pun sembuh. Sejak saat itu, dari mulut
ke mulut nama Bidan Ros mulai dikenal. Karena komunitas mereka yang
terbatas, informasi pun cepat sekali menyebar sampai ke 59 kampung di
Badui. ‘’Dalam hal Prambusia, dukun Badui telah takluk sama tenaga
medis,’’ candanya.
Menurut Bidan Ros, orang Badui umumnya jarang
mengalami sakit berat seperti hipertensi, jantung koroner, ginjal, atau
gula. Karena itu, tidak heran bila ada orang Badui yang usianya sampai
lebih dari 100 tahun. ‘’Lebih banyak yang berobat ke saya karena
penyakit-penyakit ringan seperti penyakit kulit, batuk, atau pilek,’’
Sampai
di situ, mimpi Bidan Ros masih belum tuntas. Dia masih belum dipercaya
membantu persalinan. Warga Badui, kata dia, memiliki mitos bahwa jika
plasenta alias ari-ari bayi dipotong ketika proses persalinan, sang bayi
akan mati. Selain itu, mereka juga berpersepsi bahwa melahirkan dengan
dibantu bidan akan membutuhkan biaya mahal. Untuk mengatasinya, Bidan
Ros mempraktikkan kelahiran bayi di depan para ibu Badui. ‘’Saya
tunjukkan secara medis. Bahkan, ketika saya potong plasenta bayi, ada
yang protes dan menghalangi. Tapi, setelah terbukti bahwa bayi tidak
mati, mereka terheran-heran,’’ ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
Setelah
berhasil membantu persalinan itu, dia pun menamai anak pertama yang
membuka sukses “pertunjukan” medis kepada warga pedalaman itu dengan
nama suaminya. Dia mengaku kerap terharu jika mengenang masa-masa itu.
‘’Apalagi kalau sekarang ketemu dengan anak itu, saya selalu ingat kisah
perjuangan saya,’’.
Namun, hingga kini, dia belum berhasil
menangani persalinan warga Badui Dalam. Bukan karena warga tidak mau,
tapi terutama karena medan yang berat. Ketika dia masih di perjalanan,
sang ibu keburu melahirkan. Pernah suatu saat, ketika dia baru berjalan
tiga jam (dari enam jam yang dibutuhkan), jabang bayi yang akan ditolong
sudah keluar.
Dalam menjalankan profesinya, Rosita bekerja
dengan ikhlas, tanpa pamrih. Betapa tidak, untuk sekali persalinan, dia
rela walau hanya dibayar Rp20 ribu. Bahkan, jika ada yang mengaku tidak
mampu, dia siap tidak dibayar. ‘’Saya masih tetap ingat pesan orangtua,
yakni ketika bertugas di mana pun harus tulus dan ikhlas. Insya Allah,
rezeki tidak akan ke mana,’’ ungkapnya.
sumber http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=80359
Tidak ada komentar:
Posting Komentar