Sabtu, 31 Maret 2012

REVITA, KISAH SEORANG BIDAN DESA



REVITA mungkin tak kenal dengan Srikanti. Memang keduanya hidup di zaman yang berbeda. Kini, Srikanti sudah tiada, sedangkan Revita masih mengabdi. Keduanya amat mencintai profesi dan sama-sama punya dedikasi untuk membantu masyarakat.

Lantas siapa Srikanti dan apa hubungan keduanya?
Srikanti adalah bidan keluarga Bung Karno yang menolong kelahiran putra-putri presiden pertama RI itu. Separuh hidup Sri dipakai untuk mengabdikan diri kepada keluarga Soekarno.

Beda dengan Revita, 29 tahun. Wanita asal Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar ini sudah pasti bukan Srikanti. Akan tetapi, dia sangat dekat dengan warga desa setempat yang membutuhkan pertolongannya. Seperti amat dekatnya Srikanti dengan keluarga proklamator itu.

Kisah Revita barangkali lebih dramatis lagi. Perjuangannya tidak ringan. Bagaimana tidak, tatkala tsunami menghancurkan desanya yang berada di bibir Selat Malaka, dia sedang hamil tua. Saat itu pula dia wajib menolong warga yang butuh pengobatan.

“Untuk kebutuhan obat saya suruh warga mengutip di toko saya yang sudah hancur berserak,” katanya ditanya Waspada, 98 hari pasca musibah tsunami.

Revita tidak sendiri. Sedikitnya ada enam wanita lain yang berbadan dua. Hanya menunggu waktu bersalin saja. Sementara di sana cuma ada dua bidan. Dia dan satu lagi Noviyanti, adik kandungnya sendiri.

Tanpa pamrih, dia bekerja seadanya. Tak ada klinik, konon lagi tempat praktek yang memadai. Apalagi saat itu, ratusan warga Lamreh yang selamat dari tsunami mengungsi ke atas gunung. Ada empat gunung yang dijadikan lokasi pengungsian, Bukit Soeharto, Gunung Malahayati, Tanoh Mirah dan Ujong Lancang.

Revita dan keluarga mengungsi ke Gunung Malahayati. Malahayati adalah nama seorang wanita janda (Inong Bale) yang menjadi panglima laut pertama di dunia pada masa Kerajaan Aceh Darussalam.

Nah, tak jauh dari kuburan admiral terkenal itu dia melahirkan akan keduanya. “Jauhnya ratusan meter dari kuburan Malahayati. Di sini kuburan beliau, saya ke naik ke atas lagi. Di situ saya melahirkan,” ceritanya sambil memperagakan pakai tangan.

Kejadiannya, kata dia, tepat 10 hari setelah musibah tsunami menghancurkan Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu, 4 Januari 2005. Sekira pukul 9.30 Wib malam, di bawah sebuah tenda, dia melahirkan adik perempuan buat Askal Fata 4,5 tahun. Anak kedua itu diberi nama Zakira Malahayati.

Setalah Zakira lahir, beberapa hari kemudian Revita harus menolong wanita lain melahirkan. Persalinan itu dia lakukan di bawah tenda yang semuanya berada di atas perbukitan. “Waktu mengeluarkan bayi pun harus pakai lampu teplok,” ujar Revita.

Berapa mendapat bayaran? Mengenai yang satu ini, dia terkadang tak kuasa mengutarakannya. Dia seringkali menolak bayaran dari warga yang tidak mampu. Apalagi ketika musibah itu menerjang, nyaris tak lagi warga ada yang berkantong tebal.

“Saya ikhlaskan saja,” ujarnya lirih.

Keikhlasan itu tak selamanya membuat dia senang. Kadang-kadang, Revita sempat putus asa juga. Apalagi jika mengingat dirinya cuma seorang bidan desa yang berstatus pegawai tidak tetap. “Saya sudah delapan tahun menjadi bidan,” ujar wanita kelahiraan 10 Agustus 1976 ini.

Sewindu memang bukan waktu singkat, terasa amat panjang. Sepanjang harapan Revita yang ingin menjadi pegawai negeri di Dinas Kesehatan setempat. “Sudah delapan kali saya ikut tes, nggak lulus juga,” tuturnya.

Terakhir dia amat sedih, ketika membaca daftar nama-nama mereka yang lulus PNS di sebuah koran akhir bulan lalu. “Sedih sekali, saya sudah lama mengimpikan itu, tapi nggak dapat juga,” ujarnya yang dengan seketika bermata sembab. Bulir bening pun menetes.

Mengingat itu, Revita uring-uringan. Bahkan sempat terlintas dibenaknya untuk berhenti menjadi bidan. Sampai-sampai sang suami, Saufin Har, 31, turun tangan. “Kalau tidak ingin membantu, sebaiknya dari dulu, bukan berhenti sekarang saat warga membutuhkan,” ungkap Ravita menirukan ucapan suaminya.

Ucapan itu kembali melecut semangat Revita. Akhirnya dia cuma bisa tabah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Pun demikian, dia amat menyayangkan sikap instansi terkait yang bagaikan tak peduli dengan kesehatan masyarakat.

Selain tak ada bantuan yang diberikan, dokter di puskesmas setempat pun menghilang saat dibutuhkan warga, terutama beberapa hari pasca tsunami. Begitu pula dengan bidan tetap, malah tak menginap di desa tempat tugasnya.

Untuk mengobati warga, selama ini dia mendapat bantuan obat-obatan dari Unicef, termasuk tenda tempat dia merawat banyak pasien. “Semua warga yang butuh bantuan lari ke Kak Ita. Biarpun tengah malam dia mau membantu kami,” ujar Saifullah seorang warga Lamreh kepada Waspada di tempat terpisah.

Begitulah warga menilai sosok Revita. Ternyata balada bidan desa yang tinggal 35 km dari Banda Aceh itu belum berakhir. Sama seperti belum berakhirnya harapan dia untuk menjadi seorang pegawai, konon lagi menjadi seperti Srikanti.

Srikanti pernah menjadi "Bidan Teladan Nasional Tahun 1991". Wanita yang dilahirkan di Majenang Kulon, Kediri 7 Januari 1928 tersebut dikenal sebagai bidan kesayangan Bung Karno. Dia meninggal Selasa 4 Mei 2004 sekira pukul 9.30 Wib dalam usia 76 tahun.

Revita tidak berharap menjadi bidan teladan, apalagi bidan kepresidenan. Anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Alm Muhammad Ibrahim dan Rohani ini cuma ingin menjadi bidan kesayangan warga Lamreh.

Lalu, wanita sederhana lulusan Bidan C Kesdam Bukit Barisan itu tak punya hasrat yang muluk-muluk dan tak berharap seperti Srikanti. Atau mungkin karena Revita sadar, sebab Srikanti hidup di era Soekarno, sedangkan dirinya di masa tsunami. Benarkah, Entahlah! [Munawardi Ismail]

http://mounawardismail.blogspot.com/2005/04/revita-kisah-seorang-bidan-desa.html

BIDAN PEJALAN KAKI KAMPUNG-KAMPUNG TERPENCIL PAPUA

Postur tubuhnya sedang saja dan langsing. Sopan dan murah senyum adalah kesan yang akan didapati bila bertemu dengan ibu yang satu ini. Dialah Octovina Reba (Bonay), anak dari pasangan Hofni Reba (almarhum) dan Paulina Arobaya.

Berjalan kaki dari kampung ke kampung. Memanggul atau menjinjing obat dan peralatan kesehatan; mandi hujan, melintasi lumpur, kena duri, digigit lintah dan nyamuk. “Itu bukan hambatan, karena saya tahu itu talenta yang Tuhan berikan kepada saya untuk melayani masyarakat di sana,” papar Ibu Bonay.

Karena banyaknya perkerjaan dan kegiatan, ibu dari Grace Malanesia Putri Bonay ini juga jarang bersama kedua anaknya. Kadang kala ia pergi saat kedua buah hatinya itu masih tertidur dan pulang pun saat mereka sudah pulas. Beruntung mereka memahami pekerjaan kedua orangtua.

Persoalan jarak, waktu dan kesulitan medan tak ia pandang sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung jawab terhadap kesehatan warga di kampung-kampung yang jauh. Ia menganggap pekerjaaannya sebagai seni. Karena, katanya, kampung-kampung merupakan tolok ukur pelayanan, ke sanalah orang harus berkiprah langsung. Bukan di kota, kabupaten atau provinsi.
Kecintaan untuk melayani masyarakat tetap melekat pada ibu dua anak ini. Pelayanan kesehatan terus dilakukan dari kampung ke kampung di Distrik Arso Timur. Untuk tugas itu, ia rela berjalan kaki ke kampung-kampung kecil yang belum bisa dilalui kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Kadang kala ia dan suami pulang malam hari; berjalan di tengah hutan belantara menggunakan senter.

Sebab, begitulah kenyataan umum di Papua yang akan dihadapi oleh siapa pun yang memilih pekerjaan atau profesi seperti dirinya. Beruntunglah ia punya suami yang sama-sama suka dan terbiasa dengan pekerjaan yang menantang. Bukan sesuatu yang luar biasa, jika keduanya saling mendukung pekerjaan masing-masing.

Melayani Sebagai Pengabdian Kepada Masyarakat
Sebagai “abdi masyarakat”, ketika sang suami berjalan kaki untuk menyampaikan progam pemerintah, atau sekadar mengunjungi warga di kampung-kampung, sang isteri mendampingi untuk memeriksa kesehatan dan melakukan pengobatan.

Begitu pula sebaliknya, jika isteri yang punya jadwal pengobatan di kampung-kampung tertentu, suami mengiringi untuk bertatap muka dengan warga seraya mendengarkan langsung kebutuhan mereka.

Selain sebagai perawat, Ibu Bonay juga menjabat sebagai ketua PKK Distrik Arso Timur. Lantaran, perjalanan ‘turkam’ yang sering dilakukan bersama sang suami atau dengan tim kesehatan, ia sangat akrab dengan persoalan utama yang dihadapi warga di kampung-kampung di Distrik Arso Timur. Ia menilai buruknya kondisi kesehatan dan pendidikan di kampung-kampung disebabkan masih minimnya perhatian pemerintah.

“Mereka tidak diberdayakan, selama ini mereka tidak banyak tersentuh pembangunan. Di sana, kesehatan ibu hamil sangat memprihatinkan,” kata ibu dari Alan Hofni Putra Bonay ini.
Apalagi, katanya, Distrik Arso Timur merupakan distrik pemekaran yang baru berumur 10 bulan yang sudah pasti sangat tertinggal. Distrik yang banyak membutuhkan perhatian dari Pemda Keerom.

Dari 11 kampung di Arso Timur, tujuh kampung adalah kampung pemekaran baru. Sementara empat lainnya merupakan kampung-kampung yang sudah lama dibuka saat Distrik Arso dimekarkan. Ketujuh kampung itulah yang lebih difokuskan perhatian pelayanan kesehatan.
Ibu Bonay lahir dan besar di Kampung Dawai pada 15 April 1973. Ia masuk Sekolah Dasar Inpres Dawai. Tamat pada 1986. Lalu melanjutkan ke SMP Negeri 2 Serui. Selesai 1989. Bercita-cita menjadi perawat, ia memilih masuk di Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK) Jayapura. Lulus pada 1992.

Ia melanjutkan lagi pendidikan ke Diploma 3 Kebidanan selama setahun. Tamat pada 1993. Ia langsung bertugas sebagai bidan di Kampung Waren (Serui). Lalu ia pindah ke salah satu puskesmas di Serui kota dan bertugas di sana hingga 1996. Kemudian ia pindah lagi, kini ke Arso mengikuti sang suami, Nathan Bonay yang ketika itu ditugaskan di sana. Nathan kini kepala distrik Arso Timur.

Di Arso, Octovina bertugas di Puskesmas Distrik Arso (kini Distrik Skanto) yang saat itu masih dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Jayapura. Dengan pengetahuan medis yang diperolehnya, ia berupaya melayani masyarakat di sini dengan baik.

Ketika Arso dimekarkan menjadi kabupaten terpisah dari Kabupaten Jayapura, sang suami ditarik dan ditempatkan di BPMD. Selanjutnya, ditetapkan sebagai kepala Distrik Arso Timur hingga kini. Karena mengikuti suami, Octovina pun pindah ke Distrik Arso Timur.

Membimbing Mereka yang ‘Gelap Kesehatan’
Ibu yang menggemari olah raga voli ini mengatakan, taraf pendidikan kaum perempuan di tujuh kampung memang masih sangat rendah. Warga di sini belum memahami pentingnya kesehatan dan bagaimana hidup sehat. Ibu hamil dan balita banyak kekurangan gizi. Rendahnya pendidikan, sebagiannya, dipengaruhi kondisi politik dulu yang menyebabkan mereka kehilangan kesempatan menempuh pendidikan.

“Perempuan dan anak-anak merupakan pilar pembangunan. Kualitas hidup mereka menentukan kualitas bangsa. Ini yang harus kita perjuangkan,” katanya.

Untuk memperbaiki kondisi kesehatan, terutama ibu dan anak, di Arso Timur perlu pendirian pos pelayanan terpadu (posyandu); sarana pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat kampung. Jika upaya itu sudah dipenuhi, langkah selanjutnya adalah melatih para ibu rumah tangga yang minim pengetahuan kesehatannya sebagai kader posyandu. Mereka ini yang akan menjalankan posyandu.

Walau di atas kertas PKK di Arso Timur sudah ada, program-programnya belum jalan. Dana pemberdayaan kampung sampai saat ini belum dikucurkan- bagian untuk PKK sebesar 10 persen. Padahal, dana ini, menurut Octovina memungkinkan peningkatan pelayanan kesehatan ibu di Distrik Arso Timur.

(Yosias Wambrauw/suaraperempuan.papua.wordpress.com/23okt2008)
http://www.langitperempuan.com/2010/02

SEORANG BIDAN YANG BERJUANG MENEMBUS ADAT BADUY

Penolakan suku Badui Dalam terhadap metode pengobatan modern kini mulai terkikis. Berkat kegigihan Bidan Eros Rosita, mereka mengenal jarum suntik dan bahkan mulai intens berobat.

Kabut merayap pelan di sebagian punggung Pegunungan Kendeng pada pagi, Tepat pukul 06.15 seorang wanita muda berbaju hitam berjalan pelan menaiki tangga buatan di sebuah jalan setapak yang melintasi perbatasan kampung suku Badui Luar di Kampung Kadu Ketug. Dia menuju Desa Ciboleger, sebuah desa di luar kawasan Badui.

Sambil menutupi sebagian wajahnya, ibu muda bernama Lis, 20, itu tampak kedinginan. Pagi itu perempuan Badui tersebut sudah berjanji untuk berobat di tempat praktik Bidan Eros Rosita di Desa Ciboleger. Dia adalah satu-satunya tenaga medis yang telah mendapatkan “lisensi” dari para tetua adat suku Badui Luar dan Badui Dalam untuk mengobati warga Badui secara langsung.

”Dulu tidak begini. Pasien sangat minim karena takut berobat. Mereka lebih percaya kepada dukun,’’ ujar Rosita setelah menangani sejumlah pasien.

Pada jam-jam tertentu sebelum atau setelah bertugas di Puskesmas Ciboleger, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, wanita 38 tahun itu membuka praktik di kediamannya. Ruang praktik berukuran 3 x 4 meter itu sangat sederhana. Dindingnya dipenuhi poster cara hidup sehat dan gambar ilustrasi cuci tangan. Juga ada foto ibu hamil dan janin. Dua buah stetoskop tergantung di salah satu sudut ruang. Di meja praktik ada beberapa mainan anak-anak. ‘’Maaf, maklum anak saya masih kecil, jadi suka bikin kacau di rumah,’’ canda Rosita sambil merapikan tempat praktiknya.

Rosita mulai membuka lembaran kisah hidupnya. Dia menjelaskan bahwa suku Badui adalah kelompok masyarakat yang menerapkan hidup bersahaja dan bertahan bersama tradisi nenek moyang mereka. Sudah ratusan tahun mereka hidup mengasingkan diri dari modernitas dan hidup selaras dengan keaslian alam. Jauh dari hingar-bingar modernitas, termasuk di bidang kesehatan sekalipun. Bahkan, sejak era kemerdekaan, berkali-kali sudah tenaga medis didatangkan dari ibu kota dan silih berganti pula mereka kembali dengan tangan kosong karena ditolak warga suku Badui. ‘’Kondisi itu yang justru memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan saya di sini,’’ kata wanita berjilbab tersebut.

Dengan misi itu, ketika menjadi pegawai tidak tetap (PTT) kesehatan, Rosita memilih ditugaskan ke Desa Kanekes, desa yang menaungi 59 kampung Badui, dalam dan luar.
Bidan Ros -begitu dia akrab dipanggil- menuturkan, sebelum dirinya berhasil membuka akses pengobatan di pedalaman, suku Badui menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses kelahiran. Kedatangan sejumlah tenaga medis kerap dianggap sebagai pelanggaran terhadap tradisi leluhur yang membatasi diri dari sentuhan dengan dunia modern. Namun, kebiasaan itu yang membuat derajat kesehatan suku Badui, terutama kaum ibu dan anak-anak, stagnan dan cenderung menurun. Menyadarkan pentingnya kesehatan kepada suku Badui bukan tugas mudah. ‘’Saya mulai bertugas di posyandu pada 1997. Dari rumah, saya harus menyiapkan imunisasi, bubur kacang. Saya ketuk dari pintu ke pintu di satu kampung. Demikian yang saya lakukan berulang-ulang,’’ kata ibu dua anak itu.

Awalnya, Rosita kerap ditolak atau kehadirannya tidak dihiraukan. Perlakuan seperti itu jelas membuat mental tenaga medis biasa jatuh. Sebab, mencapai lokasi-lokasi perkampungan Badui membutuhkan tenaga ekstra. Tenaga medis paling tidak harus berjalan kaki selama satu hingga enam jam di jalan setapak menembus hutan dan menyeberangi sungai. Jarak untuk sampai di titik-titik perkampungan Badui Dalam yang paling jauh mencapai 15-20 kilometer dengan medan menanjak dan menurun.

‘’Tak terhitung puluhan kali saya tiap malam harus menangis dan merasa kecewa dengan perlakuan itu. Tapi, di pagi harinya, setelah salat subuh, saya selalu berdoa dan kembali menemukan semangat lagi,’’ kenang istri Asep Kurnia itu.

Momen keberhasilan Bidan Ros terjadi ketika ada wabah prambusia atau penyakit merah, salah satu penyakit kulit yang menular pada 1999-2000. Ketika itu, dia memberanikan diri datang ke Badui Dalam dan menawarkan diri untuk mengobati penyakit itu dengan suntikan penisilin dan obat kulit. ‘’Awalnya mereka menolak karena tubuh mereka harus dimasuki alat modern yakni jarum suntik,’’ kenangnya. Tapi, karena dalam keadaan terjepit, setelah mendapat persetujuan pimpinan adat, mereka pun menyediakan satu orang warga yang terkena prambusia untuk dijadikan “percobaan”.

Penyuntikan dan pengobatan pun dilakukan di hadapan puluhan pasang mata termasuk salah satu dukun lokal. Setelah melakukan beberapa kali pengobatan dan puluhan kilometer berjalan kaki bolak-balik dari pedalaman ke perkampungan, akhirnya pasien itu pun sembuh. Sejak saat itu, dari mulut ke mulut nama Bidan Ros mulai dikenal. Karena komunitas mereka yang terbatas, informasi pun cepat sekali menyebar sampai ke 59 kampung di Badui. ‘’Dalam hal Prambusia, dukun Badui telah takluk sama tenaga medis,’’ candanya.

Menurut Bidan Ros, orang Badui umumnya jarang mengalami sakit berat seperti hipertensi, jantung koroner, ginjal, atau gula. Karena itu, tidak heran bila ada orang Badui yang usianya sampai lebih dari 100 tahun. ‘’Lebih banyak yang berobat ke saya karena penyakit-penyakit ringan seperti penyakit kulit, batuk, atau pilek,’’

Sampai di situ, mimpi Bidan Ros masih belum tuntas. Dia masih belum dipercaya membantu persalinan. Warga Badui, kata dia, memiliki mitos bahwa jika plasenta alias ari-ari bayi dipotong ketika proses persalinan, sang bayi akan mati. Selain itu, mereka juga berpersepsi bahwa melahirkan dengan dibantu bidan akan membutuhkan biaya mahal. Untuk mengatasinya, Bidan Ros mempraktikkan kelahiran bayi di depan para ibu Badui. ‘’Saya tunjukkan secara medis. Bahkan, ketika saya potong plasenta bayi, ada yang protes dan menghalangi. Tapi, setelah terbukti bahwa bayi tidak mati, mereka terheran-heran,’’ ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
Setelah berhasil membantu persalinan itu, dia pun menamai anak pertama yang membuka sukses “pertunjukan” medis kepada warga pedalaman itu dengan nama suaminya. Dia mengaku kerap terharu jika mengenang masa-masa itu. ‘’Apalagi kalau sekarang ketemu dengan anak itu, saya selalu ingat kisah perjuangan saya,’’.

Namun, hingga kini, dia belum berhasil menangani persalinan warga Badui Dalam. Bukan karena warga tidak mau, tapi terutama karena medan yang berat. Ketika dia masih di perjalanan, sang ibu keburu melahirkan. Pernah suatu saat, ketika dia baru berjalan tiga jam (dari enam jam yang dibutuhkan), jabang bayi yang akan ditolong sudah keluar.

Dalam menjalankan profesinya, Rosita bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrih. Betapa tidak, untuk sekali persalinan, dia rela walau hanya dibayar Rp20 ribu. Bahkan, jika ada yang mengaku tidak mampu, dia siap tidak dibayar. ‘’Saya masih tetap ingat pesan orangtua, yakni ketika bertugas di mana pun harus tulus dan ikhlas. Insya Allah, rezeki tidak akan ke mana,’’ ungkapnya.

sumber http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=80359

Resusitasi Bayi Baru Lahir

Persiapan Resusitasi Bayi Baru Lahir
Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi bayi baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu yang sangat berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak bernapas, bayi baru lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat atau meninggal.

Persiapan Keluarga
Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta persiapan yang dilakukan oleh penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan tindakan yang diperlukan.

Persiapan Tempat Resusitasi
Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi. Gunakan ruangan yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata, keras, bersih dan kering, misalnya meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Kondisi yang rata diperlukan untuk mengatur posisi kepala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya di dekat sumber pemanas (misalnya; lampu sorot) dan tidak banyak tiupan angin (jendela atau pintu yang terbuka). Biasanya digunakan lampu sorot atau bohlam berdaya 60 watt atau lampu gas minyak bumi (petromax). Nyalakan lampu menjelang kelahiran bayi.

Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu:
1. 2 helai kain/handuk
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi.
3. Alat pengisap lendir DeLee atau bola karet
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal
5. Kotak alat resusitasi.
6. Jam atau pencatat waktu.

Penilaian Segera
Segera setelah lahir, letakkan bayi di perut bawah ibu atau dekat perineum (harus bersih dan kering). Cegah kehilangan panas dengan menutupi tubuh bayi dengan kain/handuk yang telah disiapkan sambil melakukan penilaian dengan menjawab 2 pertanyaan:
1. Apakah bayi menangis kuat, tidak bernapas atau megap-megap?
2. Apakah bayi lemas?

Setelah melakukan penilaian dan memutuskan bahwa bayi baru lahir perlu resusitasi, segera lakukan tindakan yang diperlukan. Penundaan pertolongan dapat membahayakan keselamatan bayi. Jepit dan potong tali pusat dan pindahkan bayi ke tempat resusitasi yang telah disediakan. Lanjutkan dengan langkah awal resusitasi.

PENILAIAN
Sebelum bayi lahir, sesudah ketuban pecah:
Apakah air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) pada presentasi kepala.
Segera setelah bayi lahir:
Apakah bayi menangis, bernapas spontan dan tertatur, bernapas megap-megap atau tidak bernapas
Apakah bayi lemas atau lunglai

KEPUTUSAN
Putuskan perlu dilakukan tindakan resusitasi apabila:
1. Air ketuban bercampur mekonium.
2. Bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap.
3. Bayi lemas atau lunglai

TINDAKAN
Segera lakukan tindakan apabila:
Bayi tidak bernapas atau megap-megap atau lemas:
Lakukan langkah-langkah resusitasi BBL.

Langkah-langkah Resusitasi BBL
Resusitasi BBL bertujuan untuk memulihkan fungsi pernapasan bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dan terselamatkan hidupnya tanpa gejala sisa di kemudian hari. Kondisi ini merupakan dilema bagi penolong tunggal persalinan karena disamping menangani ibu bersalin, ia juga harus menyelamatkan bayi yang mengalami asfiksia. Resusitasi BBL pada APN ini dibatasi pada langkah-langkah penilaian, langkah awal dan ventilasi untuk inisiasi dan pemulihan pernapasan.

Langkah awal
Sambil melakukan langkah awal:
1. Beritahu ibu dan keluarganya bahwa bayinya memerlukan bantuan untuk memulai bernapas.
2. Minta keluarga mendampingi ibu (memberi dukungan moral, menjaga dan melaporkan kepada penolong apabila terjadi perdarahan).

Langkah awal perlu dilakukan secara cepat (dalam waktu 30 detik). Secara umum, 6 langkah awal di bawah ini cukup untuk merangsang bayi baru lahir untuk bernapas spontan dan teratur.

LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik):
1. Jaga bayi tetap hangat.
2. Atur posisi bayi.
3. Isap lendir.
4. Keringkan dan Rangsang taktil.
5. Reposisi.
6. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

1. Jaga bayi tetap hangat:
1. Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu atau dekat perineum
2. Selimuti bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat.
3. Pindahkan bayi ke atas kain ke tempat resusitasi.

2. Atur posisi bayi
Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong.
Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi.

3. Isap lendir
Gunakan alat pengisap lendir DeLee atau bola karet.
1. Pertama, isap lendir di dalam mulut, kemudian baru isap lendir di hidung.
2. Hisap lendir sambil menarik keluar pengisap (bukan pada saat memasukkan).
3. Bila menggunakan pengisap lendir DeLee, jangan memasukkan ujung pengisap terlalu dalam (lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung) karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi melambat atau henti napas bayi.

4. Keringkan dan rangsang bayi
1. Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau bernapas lebih baik.
2. Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini:
1. Menepuk atau menyentil telapak kaki.
2. Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan
Berbagai bentuk rangsangan taktil yang dulu pernah dilakukan, sebagian besar tak dilakukan lagi karena membahayakan kondisi bayi baru lahir (lihat tabel).
Rangsangan yang kasar, keras atau terus menerus, tidak akan banyak menolong dan malahan dapat membahayakan bayi.

5. Atur kembali posisi kepala dan selimuti bayi.
1. Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru (disiapkan).
2. Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada agar pemantauan pernapasan bayi dapat diteruskan.
3. Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi).

6. Lakukan penilaian bayi.
• Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, megap-megap atau tidak bernapas.
Bila bayi bernapas normal, berikan pada ibunya:
o Letakkan bayi di atas dada ibu dan selimuti keduanya untuk menjaga kehangatan tubuh bayi melalui persentuhan kulit ibu-bayi.
o Anjurkan ibu untuk menyusukan bayi sambil membelainya.
Bila bayi tak bernapas atau megap-megap: segera lakukan tindakan ventilasi.

Ventilasi
Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke dalam paru dengan tekanan positip yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa bernapas spontan dan teratur.
1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan.
2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi.
3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik.
4. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur?

1. Pemasangan sungkup
Pasang dan pegang sungkup agar menutupi mulut dan hidung bayi.

2. Ventilasi percobaan (2 kali)
Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air
Tiupan awal ini sangat penting untuk membuka alveloli paru agar bayi bisa mulai bernapas dan sekaligus menguji apakah jalan napas terbuka atau bebas.
Lihat apakah dada bayi mengembang
Bila tidak mengembang
1. Periksa posisi kepala, pastikan posisinya sudah benar.
2. Periksa pemasangan sungkup dan pastikan tidak terjadi kebocoran.
3. Periksa ulang apakah jalan napas tersumbat cairan atau lendir (isap kembali).
Bila dada mengembang, lakukan tahap berikutnya.

3. Ventilasi definitif (20 kali dalam 30 detik).
1. Lakukan tiupan dengan tekanan 20 cm air, 20 kali dalam 30 detik.
2. Pastikan udara masuk (dada mengembang) dalam 30 detik tindakan

4. Lakukan penilaian
Bila bayi sudah bernapas normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi. Bayi diberikan asuhan pasca resusitasi.
Bila bayi belum bernapas atau megap-megap, lanjutkan ventilasi.
1. Lanjutkan ventilasi dengan tekanan 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya.
2. Evaluasi hasil ventilasi setiap 30 detik.
3. Lakukan penilaian bayi apakah bernapas, tidak bernapas atau megap-megap.
o Bila bayi sudah mulai bernapas normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi dengan seksama, berikan asuhan pascaresusitasi.
o Bila bayi tidak bernapas atau megap-megap, teruskan ventilasi dengan tekanan 20 cm air, 20x untuk 30 detik berikutnya dan nilai hasilnya setiap 30 detik.

Siapkan rujukan bila bayi belum bernapas normal sesudah 2 menit diventilasi.
1. Mintalah keluarga membantu persiapan rujukan.
2. Teruskan resusitasi sementara persiapan rujukan dilakukan.

Bila bayi tidak bisa dirujuk,
1. Lanjutkan ventilasi sampai 20 menit
2. Pertimbangkan untuk menghentikan tindakan resusitasi jika setelah 20 menit, upaya ventilasi tidak berhasil.
Bayi yang tidak bernapas normal setelah 20 menit diresusitasi akan mengalami kerusakan otak sehingga bayi akan menderita kecacatan yang berat atau meninggal.

Asuhan Pascaresusitasi
Asuhan pascaresusitasi diberikan sesuai dengan keadaan bayi setelah menerima tindakan resusitasi. Asuhan pascaresusitasi dilakukan pada keadaan:
1. Resusitasi Berhasil: bayi menangis dan bernapas normal sesudah langkah awal atau sesudah ventilasi. Perlu pemantauan dan dukungan.
2. Resusitasi tidak/kurang berhasil, bayi perlu rujukan yaitu sesudah ventilasi 2 menit belum bernapas atau bayi sudah bernapas tetapi masih megap-megap atau pada pemantauan ternyata kondisinya makin memburuk
3. Resusitasi gagal: setelah 20 menit di ventilasi, bayi gagal bernapas.

1. Resusitasi berhasil
Resusitasi berhasil bila pernapasan bayi teratur, warna kulitnya kembali normal yang kemudian diikuti dengan perbaikan tonus otot atau bergerak aktif. Lanjutkan dengan asuhan berikutnya.

Konseling:
1. Jelaskan pada ibu dan keluarganya tentang hasil resusitasi yang telah dilakukan. Jawab setiap pertanyaan yang diajukan.
2. Ajarkan ibu cara menilai pernapasan dan menjaga kehangatan tubuh bayi. Bila ditemukan kelainan, segera hubungi penolong.
3. Anjurkan ibu segera memberi ASI kepada bayinya. Bayi dengan gangguan pernapasan perlu banyak energi. Pemberian ASI segera, dapat memasok energi yang dibutuhkan.
4. Anjurkan ibu untuk menjaga kehangatan tubuh bayi (asuhan dengan metode Kangguru).
5. Jelaskan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali tanda-tanda bahaya bayi baru lahir dan bagaimana memperoleh pertolongan segera bila terlihat tanda-tanda tersebut pada bayi.

Lakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk:
1. Anjurkan ibu menyusukan sambil membelai bayinya
2. Berikan Vitamin K, antibiotik salep mata, imunisasi hepatitis B

Lakukan pemantuan seksama terhadap bayi pasca resusitasi selama 2 jam pertama:
Perhatikan tanda-tanda kesulitan bernapas pada bayi :
1. Tarikan interkostal, napas megap-megap, frekuensi napas <> 60 x per menit.
2. Bayi kebiruan atau pucat.
3. Bayi lemas.
Pantau juga bayi yang tampak pucat walaupun tampak bernapas normal.

Jagalah agar bayi tetap hangat dan kering.
Tunda memandikan bayi hingga 6 – 24 jam setelah lahir (perhatikan temperatur tubuh telah normal dan stabil).

2. Bayi perlu rujukan
Bila bayi pascaresusitasi kondisinya memburuk, segera rujuk ke fasilitas rujukan.
Tanda-tanda Bayi yang memerlukan rujukan sesudah resusitasi
1. Frekuensi pernapasan kurang dari 30 kali per menit atau lebih dari 60 kali per menit
2. Adanya retraksi (tarikan) interkostal
3. Bayi merintih (bising napas ekspirasi) atau megap- megap (bising napas inspirasi)
4. Tubuh bayi pucat atau kebiruan
5. Bayi lemas

Konseling
1. Jelaskan pada ibu dan keluarga bahwa bayinya perlu dirujuk. Bayi dirujuk bersama ibunya dan didampingi oleh bidan. Jawab setiap pertanyaan yang diajukan ibu atau keluarganya.
2. Minta keluarga untuk menyiapkan sarana transportasi secepatnya. Suami atau salah seorang anggota keluarga juga diminta untuk menemani ibu dan bayi selama perjalanan rujukan.
3. Beritahukan (bila mungkin) ke tempat rujukan yang dituju tentang kondisi bayi dan perkiraan waktu tiba. Beritahukan juga ibu baru melahirkan bayi yang sedang dirujuk.
4. Bawa peralatan resusitasi dan perlengkapan lain yang diperlukan selama perjalan ke tempat rujukan.

Asuhan bayi baru lahir yang dirujuk
1. Periksa keadaan bayi selama perjalanan (pernapasan, warna kulit, suhu tubuh) dan catatan medik.
2. Jaga bayi tetap hangat selama perjalanan, tutup kepala bayi dan bayi dalam posisi “Metode Kangguru” dengan ibunya. Selimuti ibu bersama bayi dalam satu selimut.
3. Lindungi bayi dari sinar matahari.
4. Jelaskan kepada ibu bahwa sebaiknya memberi ASI segera kepada bayinya, kecuali pada keadaan gangguan napas, dan kontraindikasi lainnya

Asuhan lanjutan
Merencanakan asuhan lanjutan sesudah bayi pulang dari tempat rujukkan akan sangat membantu pelaksanaan asuhan yang diperlukan oleh ibu dan bayinya sehingga apabila kemudian timbul masalah maka hal tersebut dapat dikenali sejak dini dan kesehatan bayi tetap terjaga.

3. Resusitasi tidak berhasil
Bila bayi gagal bernapas setelah 20 menit tindakan resusitasi dilakukan maka hentikan upaya tersebut. Biasanya bayi akan mengalami gangguan yang berat pada susunan syaraf pusat dan kemudian meninggal. Ibu dan keluarga memerlukan dukungan moral yang adekuat Secara hati-hati dan bijaksana, ajak ibu dan keluarga untuk memahami masalah dan musibah yang terjadi serta berikan dukungan moral sesuai adat dan budaya setempat.

Dukungan moral
Bicaralah dengan ibu dan keluarganya bahwa tindakan resusitasi dan rencana rujukan yang telah didiskusikan sebelumnya ternyata belum memberi hasil seperti yang diharapkan. Minta mereka untuk tidak larut dalam kesedihan, seluruh kemampuan dan upaya dari penolong (dan fasilitas rujukan) telah diberikan dan hasil yang buruk juga sangat disesalkan bersama, minta agar ibu dan keluarga untuk tabah dan memikirkan pemulihan kondisi ibu. Berikan jawaban yang memuaskan terhadap setiap pertanyaan yang diajukan ibu dan keluarganya. Minta keluarga ikut membantu pemberian asuhan lanjutan bagi ibu dengan memperhatikan nilai budaya dan kebiasaan setempat. Tunjukkan kepedulian atas kebutuhan mereka. Bicarakan apa yang selanjutnya dapat dilakukan terhadap bayi yang telah meninggal.

Ibu mungkin merasa sedih atau bahkan menangis. Perubahan hormon saat pascapersalinan dapat menyebabkan perasaan ibu menjadi sangat sensitif, terutama jika bayinya meninggal. Bila ibu ingin mengungkapkan perasaannya, minta ia berbicara dengan orang paling dekat atau penolong. Jelaskan pada ibu dan keluarganya bahwa ibu perlu beristirahat, dukungan moral dan makanan bergizi. Sebaiknya ibu tidak mulai bekerja kembali dalam waktu dekat.

Asuhan lanjutan bagi ibu
Payudara ibu akan mengalami pembengkakan dalam 2-3 hari. Mungkin juga timbul rasa demam selama 1 atau 2 hari. Ibu dapat mengatasi pembengkakan payudara dengan cara sebagai berikut:
1. Gunakan BH yang ketat atau balut payudara dengan sedikit tekanan menggunakan selendang /kemben/kain sehingga ASI tidak keluar.
2. Jangan memerah ASI atau merangsang payudara.

Asuhan tindak lanjut: kunjungan ibu nifas
Anjurkan ibu untuk kontrol nifas dan ikut KB secepatnya (dalam waktu 2 minggu). Ovulasi bisa cepat kembali terjadi karena ibu tidak menyusukan bayi. Banyak ibu yang tidak menyusui akan mengalami ovulasi kembali setelah 3 minggu pasca persalinan. Bila mungkin, lakukan asuhan pascapersalinan di rumah ibu.

Asuhan tindak lanjut pascaresusitasi
Sesudah resusitasi, bayi masih perlu asuhan lanjut yang diberikan melalui kunjungan rumah. Tujuan asuhan lanjut adalah untuk memantau kondisi kesehatan bayi setelah tindakan resusitasi.

Kunjungan rumah (kunjungan neonatus 0 – 7 hari) dilakukan sehari setelah bayi lahir. Gunakan algoritma Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) untuk melakukan penilaian, membuat klasifikasi, menentukan tindakan dan pengobatan serta tindak lanjut. Catat seluruh langkah ke dalam formulir tata laksana bayi muda 1 hari – 2 bulan.
1. Bila pada kunjungan rumah (hari ke 1) ternyata bayi termasuk dalam klasifikasi merah maka bayi harus segera dirujuk.
2. Bila termasuk klasifikasi kuning, bayi harus dikunjungi kembali pada hari ke 2.
3. Bila termasuk klasifikasi hijau, berikan nasihat untuk perawatan bayi baru lahir di rumah.
Untuk kunjungan rumah berikutnya (kunjungan neonatus 8 – 28 hari), gunakan juga algoritma MTBM.

Bayi Aman bila IBU nya:
TAK MEMILIKI KEKHAWATIRAN MENGENAI PERILAKU BAYINYA
MEMEGANG DAN BERBICARA DENGAN BAYI DENGAN PENUH KASIH SAYANG
MENGETAHUI TANDA-TANDA BAHAYA DAN UPAYA APA YANG HARUS DILAKUKAN

Langkah-langkah Resusitasi Bayi Baru Lahir dengan Air Ketuban Bercampur Mekonium
Mekonium merupakan tinja pertama dari BBL. Mekonium kental pekat dan berwarna hijau tua atau kehitaman. Biasanya BBL mengeluarkan mekonium pertama kali pada 12-24 jam pertama. Kira-kira pada 15% kasus, mekonium dikeluarkan bersamaan dengan cairan ketuban beberapa saat sebelum persalinan. Hal ini menyebabkan warna kehijauan pada cairan ketuban. Mekonium jarang dikeluarkan sebelum 34 minggu kehamilan. Bila mekonium terlihat sebelum persalinan bayi dengan presentasi kepala, lakukan pemantauan ketat karena hal ini merupakan tanda bahaya

Penyebab janin mengeluarkan mekonium sebelum persalinan
Tidak selalu jelas mengapa mekonium dikeluarkan sebelum persalinan. Kadang-kadang hal ini terkait dengan kurangnya pasokan oksigen (hipoksia). Hipoksia kan meningkatkan peristaltik usus dan relaksasi sfingter ani sehingga isi rektum (mekoneum) diekskresikan. Bayi-bayi dengan risiko tinggi gawat janin (misal; Kecil untuk Masa Kehamilan/KMK atau Hamil Lewat Waktu) ternyata air ketubannya lebih banyak tercampur oleh mekonium (warna kehijauan) dibandingkan dengan air ketuban pada kehamilan normal.

Risiko air ketuban bercampur mekonium terhadap bayi
Hipoksia dapat menimbulkan refleks respirasi bayi di dalam rahim sehingga mekonium yang tercampur dalam air ketuban dapat terdeposit di jaringan paru bayi. Mekonium dapat juga masuk ke paru jika bayi tersedak saat lahir. Masuknya mekonium ke jaringan paru bayi dapat menyebabkan pneumonia dan mungkin kematian.

sumber:
Modul APN, 2007

Atonia Uteri

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan
pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.

Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.

Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.

Gejala Klinis:

  • Uterus tidak berkontraksi dan lunak
  • Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.

Penanganan Atonia Uteri;
A. Penanganan Umum
  • Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan gawat darurat.
  • Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
  • Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat. 
  • Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
  • Pastikan bahwa kontraksi uterus baik: 
  • lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM 
  • Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
  • Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan perineum.
  • Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadarHemoglobin:
  • Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
  • Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
B.Penanganan Khusus
  • Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
  • Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi uterus yang menghentikan perdarahan.
  • Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
  • Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
  • Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan.
Jika perdarahan terus berlangsung:
Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap;Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.Lakukan uji pembekuan darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.
Jika perdarahan terus berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan, lakukan:
Kompresi bimanual internal atau Kompresi aorta abdominalis
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
  • Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat.
  • Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
  • Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika. 
  • Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah ligasi.
Uterotonika :

Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.
Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan pemakaian Uterotonika untuk menghindari perdarahan masif yang terjadi.

Kompresi Uterus Bimanual.

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci
Teknik :
  • Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan,
  • Eksplorasi dengan tangan kiri 
  • Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas. 
  • Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar,ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.
Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.

Daftar Pustaka :
James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologi. Alih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002.
Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.

58 Langkah Asuhan Persalinan Normal(APN)

Untuk melakukan asuhan persalinan normal (APN) dirumuskan 58 langkah asuhan persalinan normal sebagai berikut:
1. Mendengar & Melihat Adanya Tanda Persalinan Kala Dua.
2. Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan termasuk mematahkan ampul oksitosin & memasukan alat suntik sekali pakai 2½ ml ke dalam wadah partus set.
3. Memakai celemek plastik.
4. Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci tangan dgn sabun & air mengalir.
5. Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yg akan digunakan untuk pemeriksaan dalam.
6. Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung tangan, isi dengan oksitosin dan letakan kembali kedalam wadah partus set.
7. Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah yang telah dibasahi oleh air matang (DTT), dengan gerakan vulva ke perineum.
8. Melakukan pemeriksaan dalam – pastikan pembukaan sudah lengkap dan selaput ketuban sudah pecah.
9. Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, membuka sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
10. Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus selesai – pastikan DJJ dalam batas normal (120 – 160 x/menit).
11. Memberi tahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik, meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila ibu sudah merasa ingin meneran.
12. Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran (Pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah duduk dan pastikan ia merasa nyaman.
13. Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat untuk meneran.
14. Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit.
15. Meletakan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5 – 6 cm.
16. Meletakan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong ibu
17. Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan alat dan bahan
18. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
19. Saat kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5 – 6 cm, memasang handuk bersih pada perut ibu untuk mengeringkan bayi jika telah lahir dan kain kering dan bersih yang dilipat 1/3 bagian dibawah bokong ibu. Setelah itu kita melakukan perasat stenan (perasat untuk melindungi perineum dngan satu tangan, dibawah kain bersih dan kering, ibu jari pada salah satu sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi yang lain dan tangan yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati introitus dan perineum).
20. Setelah kepala keluar menyeka mulut dan hidung bayi dengan kasa steril kemudian memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin
21. Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar secara spontan.
22. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparental. Menganjurkan
kepada ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakan kepala kearah bawah dan distal hingga bahu depan muncul dibawah arkus pubis dan kemudian gerakan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang.
23. Setelah bahu lahir, geser tangan bawah kearah perineum ibu untuk menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang tangan dan siku sebelah atas.
24. Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri punggung kearah bokong dan tungkai bawah janin untuk memegang tungkai bawah (selipkan ari telinjuk tangan kiri diantara kedua lutut janin)
25. Melakukan penilaian selintas :
a. Apakah bayi menangis kuat dan atau bernapas tanpa kesulitan?
b. Apakah bayi bergerak aktif ?
26. Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan handuk/kain yang kering. Membiarkan bayi atas perut ibu.
27. Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus.
28. Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitasin agar uterus berkontraksi baik.
29. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin 10 unit IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
30. Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari klem pertama.
31. Dengan satu tangan. Pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat diantara 2 klem tersebut.
32. Mengikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci pada sisi lainnya.
33. Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan memasang topi di kepala bayi.
34. Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm dari vulva
35. Meletakan satu tangan diatas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegangkan tali pusat.
36. Setelah uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati kearah doroskrainal. Jika plasenta tidak lahir setelah 30 – 40 detik, hentikan penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan mengulangi prosedur.
37. melakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian kearah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).
38. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan), pegang plasenta dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban.
39. Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)
40. Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput ketuban sudah lahir lengkap, dan masukan kedalam kantong plastik yang tersedia.
41. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Melakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.
42. Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam.
43. Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam.
44. Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri tetes mata antibiotik profilaksis, dan vitamin K1 1 mg intramaskuler di paha kiri anterolateral.
45. Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan imunisasi Hepatitis B di paha kanan anterolateral.
46. Melanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan pervaginam.
47. Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi.
48. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
49. Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pasca persalinan.
50. Memeriksa kembali bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas dengan baik.
51. Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah di dekontaminasi.
52. Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
53. Membersihkan ibu dengan menggunakan air DDT. Membersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu memakai memakai pakaian bersih dan kering.
54. Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk membantu apabila ibu ingin minum.
55. Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%.
56. Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5% melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%
57. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
58. Melengkapi partograf.
Sumber :
Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi (JNPK-KR).
Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : JNPK-KR, Maternal & Neonatal Care, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002

Senin, 19 Maret 2012

Job Sheet Pemasangan Kateter Menetap

JOB SHEET

Topik                              : Pemasangan kateter menetap
Keterampilan                 : Pemasangan kateter menetap
Waktu                             : 120 Menit
Dosen                              : Ati Kurniati
 

OBJEKTIF PERILAKU SISWA :
Peserta didik mampu melakukan Pemasangan kateter menetap sesuai prosedur secara sistematiks dan benar, setelah membaca setiap langkah yang terdapat dalam job sheet dan menggunakan peralatan, bahan dan perlengkapan.

REFERENSI :
1.      Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC
2.      Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.
3.      Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.
4.      Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.
5.      JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.
6.      JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
7.      Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.
8.      Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.
9.      Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.
10.  Samba, Suharyati, 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta. EGC


DASAR TEORI SINGKAT
Definisi
  • Kateter adalah pipa untuk memasukkan atau mengeluarkan cairan
  • Kateter terutama terbuat dari bahan karet atau plastik, metal, woven silk dan silikon
  • Kandung kemih adalah sebuah kantong yang berfungsi untuk menampung air seni yang berubah-ubah jumlahnya yang dialirkan oleh sepasang ureter dari sepasang ginjal
  • Kateterisasi kandung kemih adalah dimasukkannya kateter melalui urethra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan air seni atau urine.
2. Tujuan
  • Untuk segera mengatasi distensi kandung kemih
  • Untuk pengumpulan spesimen urine
  • Untuk mengukur residu urine setelah miksi di dalam kandung kemih
  • Untuk mengosongkan kandung kemih sebelum dan selama pembedahan
1. Pada wanita
a. Memberitahu dan menjelaskan pada klien
b. Mendekatkan alat-alat
c. Memasang sampiran
d. Mencuci tangan
e. Menanggalkan pakaian bagian bawah
f. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong
g. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent
h. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien
i. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
j. Lakukan vulva higyene
k. Mengambil kateter kemudian ujungnya diberi vaselin 3-7 cm
l. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra
m. Menampung urin ke dalam bengkok atau botol steril bila diperlukan untuk pemeriksaan.
n. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai ukuran kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag
o. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien
p. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur.
q. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama dengan kateter dan pinset
r. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas
s. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi
t. Membereskan alat
u. Mencuci tangan
2. Pada pria
a. Memberitahu dan menjelaskan pada klien
b. Mendekatkan alat-alat
c. Memasang sampiran
d. Mencuci tangan
e. Menanggalkan pakaian bagian bawah
f. Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong
g. Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent
h. Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien
i. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
j. Memegang penis dengan tangan kiri
k. Menarik preputium sedikit ke pangkalnya, kemudian membersihkannya dengan kapas DTT
l. Mengambil kateter, ujungnya diberi vaselin 20cm
m. Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra 20 cm sambil penis diarahkan ke atas. Jika kateter tertahan jangan dipaksakan. Usahakan penis lebih dikeataskan sedikit dan pasien dianjurkan menarik nafas panjang, dan memasukkan kateter perlahan-lahan sampai urin keluar, kemudian menampung urin ke dalam bengkok/botol steril bila diperlukan untuk pemeriksaan.
n. Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai ukuran kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag
o. Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur.
p. Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada pahaklien
q. Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama dengan kateter dan pinset
r. Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas
s. Menarik selimut dan mengambil selimut mandi
t. Membereskan alat
u. Mencuci tangan

PETUNJUK
1.      Siapkan bahan dan alat yang diperlukan
2.      Baca dan pelajari lembar kerja / job sheet yang sudah disediakan
3.      Ikuti petunjuk instruktur
4.      Laporkan hasil kerja setelah selesai melakukan latihan




KESELAMATAN KERJA
1.      Pusatkan perhatian dan konsentrasi pada prosedur tindakan
2.      Sebelum prosedur, dekatkan alat dan bahan
3.      Gunakan alat sesuai dengan kegunaannya


PROSEDUR PELAKSANAAN

NO
LANGKAH KERJA
GAMBAR
I.   Pemasangan kateter menetap
1
Memberitahu dan menjelaskan pada klien
2
Mendekatkan alat-alat
3
Memasang sampiran
4
Mencuci tangan
5
Menanggalkan pakaian bagian bawah

6
Memasang selimut mandi, perlak dan pengalas bokong

7
Menyiapkan posisi klien dorsal recumbent

8
Meletakkan 2 bengkok diantara tungkai pasien



9
Mencuci tangan dan memakai sarung tangan
10
Lakukan vuva higyene


11
Mengambil kateter kemudian ujungnya diberi vaselin 3-7 cm
12
Memasukkan kateter perlahan-lahan ke dalam uretra
13
Menampung urin ke dalam bengkok atau botol steril bila diperlukan untuk pemeriksaan

14
Bila urin sudah keluar semua, masukkan aquades 10-15 cc (sesuai ukuran kateter) dihubungkan dengan pipa penyambung pada urine bag

15
Fiksasi kateter dengan menggunakan plester pada paha klien

16
Mengikat urin bag pada sisi tempat tidur

17
Melepas sarung tangan dan masukkan ke dalam bengkok bersama dengan kateter dan pinset

18
Memasang pakaian bawah, mengambil perlak dan pengalas

19
Menarik selimut dan mengambil selimut mandi

20
Membereskan alat
21
Mencuci tangan


EVALUASI
1.      Mahasiswa mendemonstrasikan secara individu, dengan kriteria :
a.       Setiap langkah dilakukan secara sistematis dan memperhatikan keamanan serta kenyamanan ibu setiap prosedur tindakan.
2.      Dosen menilai langkah-langkah yang dilakukan dengan menggunakan check list.